Saturday, May 3, 2014

pendekatan feminis dalam study islam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah.
Tidak dipungkiri bahwa struktur sosial terbentuk dari adanya pembagian peran jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, banyak sekali hukum dalam agama Islam  yang sekilas mengesampingkan masalah peran antar jenis kelamin tersebut, terkadang dipandang berat sebelah atau mungkin bisa dikatakan diskriminatif, hal ini karena kekurangpahaman masyarakat terhadap konsep hukum Islam itu sendiri.
Disini pemakalah akan berusaha menyampaikan materi berisi studi Islam jika dipandang dan didekati oleh sudut pandang feminis, untuk menghindari adanya kesalahpahaman masyarakat dengan Islam yang seakan dipandang diskriminatif oleh kaum hawa.

1.2.Rumusan Masalah.
·        1.  Apa pengertian Feminis ?
·         2. Bagaimana pendekatan Feminis terhadap studi Islam?
·         3. Apa contoh permasalahan Feminis dalam Islam?
                                                             
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Feminis.
Feminis dari segi bahasa diambil dari bahasa Latin Femina yang berarti perempuan, menurut istilah feminis adalah sifat mutlak yang dimiliki seorang perempuan,yang menjadi sebuah simbol bagi diri dan jiwa setiap perempuan.
Pengertian feminis sekarang sudah mengalami penyempitan makna, bermula dari adanya permasalahan gender, pengertian feminis berubah dari makna aslinya menjadi perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak perempuan dengan hak pria.
Sedangkan gerakan kaum feminis ini disebut Feminisme (pahamFeminis). Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminismejuga dapat didefinisikan sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki.[1]
Dalamcatatansejarah, perempuan memangdipandangsebagaimakhluk inferior (bermutu rendah), emosional, sertakurangakalnya.Kentalnya dominasi budaya patriarki (laki-laki adalah otoritas utama) seringkali tidakmampu dipahami secara tuntas dan logis oleh agama-agamayang dimaksudkan untukmembebaskan manusia dari segala bentuk penindasan  dan ketidakadilan baik dalam segi etnis, ras, agama maupungender. SetelahparautusanTuhansebagaipembawawahyuwafat,makasecaraberangsur-angsurpenafsirankitabsucikembalidikendalikanolehnilai-nilaipatriarkis[2]
Menurut esai terkenal karya Irigaray, Divine Women, yang dikembangkan di Italia oleh Annarosa Buttarelli, perempuan hanya bisa memberi makna pada kekhususan seksual mereka, yakni sifat feminim, di dalam sebuah cakrawala yang lebih tinggi (transender) atau di luar segala kesanggupan manusia. Dengan kata lain, keterbatasan individu takkan pernah ada tanpa adanya sebuah ketidak terbatasan yang berkaitan dengan kenyataan, lebih mudahnya sebuah keterbatasan selalu ada beriringan dengan ketidak terbatasan yang nyata.[3]
Jadi keterbatasan perempuan selalu tampak jika dibandingkan dengan ketidak terbatasan laki-laki, maka alangkah baiknya jika semua pihak memahami keterbatasan yang memang ditakdirkan pada diri manusia, karena tidak mungkin ketidak terbatasan dari perempuan dilaksanakan laki-laki, dan sebaliknya, tidak mungkin ketidak terbatasan laki-laki dilakukan perempuan, melainkan dengan adanya keterbatasan antara perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi sebuah kelengkapan untuk menyempurnakan esensi kehidupan manusia.

2.2. Pendekatan Feminis terhadap studi Islam.
Sebenarnya pendekatan Feminis adalah sebuah pendekatan yang lebih mencondongkan perspektif tentang analisis agama Islam dari segi  gender. Kaum feminis yang patuh agama mempunyai pandangan bahwa kehidupan wanita tidak akan terlepas  dari adanya pandangan Feminisme dan Agama,keduanya mempunyai kontribusi besar dalam membentuk kepribadian seorang wanita yang sesuai dengan kodrat alami dan sesuai dengan syariat agama.
Feminis sendiri mempunyai wilayah yang luas, asalkan masih dalam lingkup perempuan. Semisal meliputi antropologi perempuan, sosiologi perempuan,psikologi perempuan, filsafat perempuan dan lain sebagainya. Maka sebab itulah, tidak mungkin mendekati studi Islam dari sudut feminis, tanpa meminjam hipotesa, teori atau bahkan hukum dari berbagai ilmu-ilmu diatas. Sedangkan tujuanutamadari pendekatan feminisitu sendiri adalahmengidentifikasisejauhmanaterdapatpersesuaianantarapandanganfeminisdanpandangankeagamaanterhadapkedirian perempuan, danbagaimanamenjalininteraksi yang paling menguntungkanantara yang satudengan yang lain.[4]
Untuk mempermudah maksud dari pembahasan, maka lebih sederhananya jika pendekatan feminis diartikan sebagai upaya dan usaha kaum feminis untuk mengkaji Islam dari segi gender. Upaya ini bermula ketika adanya bentuk ketidakadilan atau lebih tepatnya bentuk ketidakpuasan kaum feminis dalam kajian Islam terhadap perempuan, seperti contoh masalah hukum waris, cara berpakaian, hak untuk berkarir, status personal, poligini, hukuman fisik suami pada istri, perceraian sepihak atau talak dan lain sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat Ghazala Anwar, salah satu kaum feminis muslimah, ia memandang bahwa faham feminis adalah sebagai gerakan umum untuk memulihkan martabat, kebebasan, dan kesetaraan, tidak hanya antar jenis manusia melainkan semua makhluk dimuka bumi ini.[5]
Dengan arti lain, maksud dari kata memulihkan martabat, kebebasan, dan kesetaraan ini, punya pesan tersirat bahwa menurut Ghazala Anwar, mewakili kaum feminis, ada bentuk ketidakadilan dalam kajian Islam, terutama masalah gender yang mereka perjuangkan pemulihannya.
Pendekatan Feminis terhadap studi Islam mempunyai arti bahwa Islam dapat dikaji dari perspektif perempuan secara umum, serta hanya untuk mencari korelasi yang sesuai antara agama dan teori feminis itu sendiri, tidak lebih dan tidak kurang. Tapi kebanyakan yang telah ada, teori feminis hanya bertujuan untuk menghancurkan batas-batas peran atau kekuasaan dalam pembagian tugas peran gender itu sendiri, sehingga terkesan ketat, menentang dan keras.


2.3. Contoh permasalahan Feminis dalam Islam.
Banyak contoh permasalahan Feminis dalam Islam dan yang pasti juga dapat didekati dari segi feminis, disini akan diambil contoh masalah wanita karir. Jika kita melihat hal mendasar dari hak kebebasan mendapatkan pekerjaan, bahwasanya perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki, yaitu bekerja atau berkarir sesuai dengan keinginannya masing-masing. Tapi dalam kenyataan yang ada, agama Islam seakan membatasi ruang lingkup gerak perempuan untuk berkarir, mulai dari wajibizin suami, tanggungjawab mengurus anak, memakai hijab dan sebagainya. Hal ini tentu dianggap sebagai sebuah pengekangan gerak yang tidak leluasa bagi kaum perempuan sehingga dianggap diskriminatif dan tidak adil.
Dari permasalahan tersebut, terlebih dahulukitaperlumemahamikonsep adil dan tidak adil. Sebenarnya semua masalah yang berhubungan dengan feminis hanya berakar dari ketidakpahaman kaum feminis terhadap definisi keadilan. Menurut mereka adil ialah “ pembagian secara rata (sama rata) “, ini jelas keliru, kenapa bisa keliru? Mari kita analisis ulang.
Jika memang pengertian adil adalah pembagian secara sama rata, maka seharusnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama rata serata-ratanya. Maksudnya semua tugas dan peran antara kedua jenis kelamin ini sama. Masalahnya adalah, jika mereka berdua mempunyai kepentingan dan peran yang sama, maka akan menjadikan beban keduanya semakin berat dan rancu, disebabkan tidak adanya saling gotong royong antara peran laki-laki dan perempuan, secara otomatis berdampak pada sistem masyarakat yang semakin kacau dan semrawut.
Lebih tepat dan benar, jika definisi adil diarahkan ke konteks makna yang pas, yaitu “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”, dengan menggunakan definisi tersebut, tidak akan ada sistem peran dan tugas yang terabaikan dan rancu, sehingga keseimbangan peran dalam sistem masyarakat terjaga baik dan benar.
Dari penalaran diatas, ada dua elemen yang harus diperhatikan menyangkut masalah tersebut, yaitu hak dan kewajiban. Menurut saya, bekerja (dalam arti mencari nafkah) bagi laki-laki adalah sebuah kewajiban, namun bagi perempuan, bekerja adalah sebuah hak, maka dengan hal ini, tidak bisa dibenarkan, jika untuk memenuhi sebuah hak, perempuan melalaikan kewajiban utamanya, yaitu sebagaimana seharusnya kodrat dia menjadi perempuan. Sebenarnya jika kaum feminis memahami konsep-konsep seperti yang telah dijabarkan diatas, maka sudah pasti tidak akan ada pertentangan antar gender yang terlalu berarti.
            Contoh lain yang bersangkutan dengan feminis. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, Allah SWT berfirman :
A%y`Ìh9$#šcqãBº§qs%n?tãÏä!$|¡ÏiY9$#….
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan....
            Sekilas, jika kita amati, ayat ini seakan mendiskriminatifkan kaum perempuan dan mengunggulkan kaum laki-laki diatas kaum perempuan. Namun jika kita pahami betul konteks bentuk kata yang dipakai dalam ayat tersebut, maka hal itu tidak akan merubah esensi kebenaran yang sesuai dengan logika manusia. Mari kita analisis kembali ayat tersebut.
            Kata “Ar-Rijaalu” adalah kata jamak dari mufrod “ Ar-Rojulu”, sedangkan Ar-Rojulu mempunyai makna sama dengan kata “ Adz-Dzakaru” ( Jamak : Adz-Dzukuuru ) yang artinya orang laki-laki. Pertanyaannya adalah, mengapa Al-Qur’an di dalam ayat tersebut mengungkapkan makna “orang laki-laki” dengan ungkapan  “Ar-Rijaalu” tidak dengan ungkapan “Adz-Dzukuuru” ?
            Ternyata ada maksud tersirat Al-Qur’an menggunakan ungkapan“Ar-Rijaalu” pada ayat tersebut, yaitu tentang fungsi kata. Sebenarnya fungsi kata “ Adz-Dzakaru” berbeda dengan fungsi kata  “ Ar-Rojulu”,“ Adz-Dzakaru” berfungsi untuk menunjukkan makna orang laki-laki dalam bentuk fisik atau lahiriyyah, lebih tepatnya “ Adz-Dzakaru” dimaknai dengan makna “Jantan”. Berbeda dengan ”Ar-Rojulu”,Ar-Rojulu” berfungsi menunjukkan makna orang laki-laki dari segi karakter batiniyyah yang tertanam dalam jiwa raga laki-laki sejati. Hal ini sama halnya dengan ungkapan “ An-Nisaa’” yang tidak diungkapkan dalamAl-Qur’an dengan kata “ Inatsu” yang sama-sama mempunyai arti perempuan (jamak). Di samping itu, Al-Qur’an menggunakan ungkapan ma’rifat dalam kata “Ar-Rijaalu” dan “ An-Nisaa’” di tandai adanya alif lam ta’rif, hal ini menunjukkan bahwa sifat serta karakter laki-laki dan perempuan sejati, tidaklah dimiliki pada seluruh manusia, tetapi hanya orang-orang tertentu saja.
            Jadi dalam ayat tersebut mempunyai arti “Siapa saja yang memiliki karakter laki-laki sejati itu adalah pemimpin bagi orang-orang yang memiliki karakter sejati perempuan..“.
Dengan pengartian tersebut, ada celah bagi perempuan yang memang memiliki karakter laki-laki sejati,(karakternya : berani, tenang mengambil keputusan, adil dan lain sebagainya). untuk menjadi seorang pemimpin.Makaungkapan Al-Qur’an dalammenanggapipermasalahanfeminis pun terpecahkan.
Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan feminis dalam Islam, hal ini disebabkan kurang pahamnya kaum feminis terhadap Al-Qur’an sendiri.Makadari itu, perlu adanya telaah ulang tentang makna dalam Al-Qur’an untuk menghindari kesalah pahaman makna yang melenceng jauh dari yang dimaksudkan.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
Pendekatan studi Islam dari sudut feminis ternyata hanyalah sebagai upaya dan usaha kaum feminis untuk mengkaji Islam dari segi gender, yang bermula dari bentuk ketidakpuasan kaum feminis dalam kajian Islam terhadap perempuan, hal ini terjadi karena adanya salah pengertian terhadap definisi keadilan.
3.2. Kritik dan Saran.
Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi pokok pembahasan, sudah pasti banyak kelemahan dan kekurangan dikarenakan pengetahuan saya yang masih terbatas serta kurangnya sumber-sumber referensi  mengenai bahasan ini.
Saya berharap, para pembaca dan pendengar mau memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
·         Nasution, Dr. Khoirudin, Ushul Fiqh: Sebuah Kajian FiqhPerempuan, Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syariah Sunan Kaijaga, 2002).
·         Luce Irigaray, Donne Divine,dalamSessi e Genealogie, (Milan,1989). Buttarelli, Annarosa, Dio Personale e Genere Femminile, dalam suntingan Ceresa, Ivana, Donne e Divino,(Mantua,1992).
·         Morgan, Sue,PendekatanFeminis, Aneka PendekatanStudi Agama, ed. Connolly, Peter, (Yogyakarta:LKis, 2002).
·         Baidhawy.ed, Zakiyuddin, Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997).
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, 20/11/2013, 22:08.




[2]Dr. Khoirudin Nasution, Ushul Fiqh: Sebuah Kajian FiqhPerempuan, Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syariah Sunan Kaijaga, 2002), hlm 253.
[3]Luce Irigaray, Donne Divine,dalamSessi e Genealogie, (Milan,1989), hlm.67-86 ;Annarosa Buttarelli, Dio Personale e Genere Femminile, dalam suntingan Ivana Ceresa, Donne e Divino,(Mantua,1992), hlm 44-50.
[4]Sue Morgan, PendekatanFeminis, Aneka PendekatanStudi Agama, ed.Peter Connolly, (Yogyakarta:LKis, 2002),hlm63.
[5]Zakiyuddin Baidhawy,ed.Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997), hlm 4.

0 comments:

Post a Comment