pendekatan feminis dalam study islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah.
Tidak
dipungkiri bahwa struktur sosial terbentuk dari adanya pembagian peran jenis
kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, banyak sekali hukum dalam agama
Islam yang sekilas mengesampingkan
masalah peran antar jenis kelamin tersebut, terkadang dipandang berat sebelah
atau mungkin bisa dikatakan diskriminatif, hal ini karena kekurangpahaman
masyarakat terhadap konsep hukum Islam itu sendiri.
Disini
pemakalah akan berusaha menyampaikan materi berisi studi Islam jika dipandang
dan didekati oleh sudut pandang feminis, untuk menghindari adanya
kesalahpahaman masyarakat dengan Islam yang seakan dipandang diskriminatif oleh
kaum hawa.
1.2.Rumusan
Masalah.
· 1. Apa pengertian Feminis ?
· 2. Bagaimana pendekatan Feminis terhadap
studi Islam?
· 3. Apa contoh permasalahan Feminis dalam
Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Feminis.
Feminis
dari segi bahasa diambil dari bahasa Latin Femina yang berarti
perempuan, menurut istilah feminis adalah sifat mutlak yang dimiliki seorang
perempuan,yang menjadi sebuah simbol bagi diri dan jiwa setiap perempuan.
Pengertian
feminis sekarang sudah mengalami penyempitan makna, bermula dari adanya
permasalahan gender, pengertian feminis berubah dari makna aslinya menjadi
perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak perempuan
dengan hak pria.
Sedangkan
gerakan kaum feminis ini disebut Feminisme (pahamFeminis). Istilah ini mulai
digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan
perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminismejuga
dapat didefinisikan sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang
didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki.[1]
Dalamcatatansejarah,
perempuan memangdipandangsebagaimakhluk inferior (bermutu rendah), emosional, sertakurangakalnya.Kentalnya
dominasi budaya patriarki (laki-laki adalah otoritas utama) seringkali
tidakmampu dipahami secara tuntas dan logis oleh agama-agamayang dimaksudkan
untukmembebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan
baik dalam segi etnis, ras, agama maupungender. SetelahparautusanTuhansebagaipembawawahyuwafat,makasecaraberangsur-angsurpenafsirankitabsucikembalidikendalikanolehnilai-nilaipatriarkis[2]
Menurut esai terkenal karya Irigaray,
Divine Women, yang dikembangkan di Italia oleh Annarosa Buttarelli,
perempuan hanya bisa memberi makna pada kekhususan seksual mereka, yakni sifat feminim,
di dalam sebuah cakrawala yang lebih tinggi (transender)
atau di luar segala kesanggupan manusia. Dengan kata lain,
keterbatasan individu takkan pernah ada tanpa adanya sebuah ketidak terbatasan yang
berkaitan dengan kenyataan,
lebih mudahnya sebuah keterbatasan selalu ada beriringan dengan ketidak terbatasan yang
nyata.[3]
Jadi keterbatasan perempuan selalu tampak jika dibandingkan dengan ketidak terbatasan laki-laki,
maka alangkah baiknya jika semua pihak memahami keterbatasan yang
memang ditakdirkan pada diri manusia,
karena tidak mungkin ketidak terbatasan dari perempuan dilaksanakan laki-laki,
dan sebaliknya, tidak mungkin ketidak terbatasan laki-laki dilakukan perempuan,
melainkan dengan adanya keterbatasan antara perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi sebuah kelengkapan untuk menyempurnakan esensi kehidupan manusia.
2.2.
Pendekatan Feminis terhadap studi Islam.
Sebenarnya
pendekatan Feminis adalah sebuah pendekatan yang lebih mencondongkan perspektif
tentang analisis agama Islam dari segi
gender. Kaum feminis yang patuh agama mempunyai pandangan bahwa
kehidupan wanita tidak akan terlepas
dari adanya pandangan Feminisme dan Agama,keduanya mempunyai kontribusi
besar dalam membentuk kepribadian seorang wanita yang sesuai dengan kodrat
alami dan sesuai dengan syariat agama.
Feminis
sendiri mempunyai wilayah yang luas, asalkan masih dalam lingkup perempuan.
Semisal meliputi antropologi perempuan, sosiologi perempuan,psikologi perempuan,
filsafat perempuan dan lain sebagainya. Maka sebab itulah, tidak mungkin
mendekati studi Islam dari sudut feminis, tanpa meminjam hipotesa, teori atau
bahkan hukum dari berbagai ilmu-ilmu diatas. Sedangkan tujuanutamadari
pendekatan
feminisitu
sendiri adalahmengidentifikasisejauhmanaterdapatpersesuaianantarapandanganfeminisdanpandangankeagamaanterhadapkedirian
perempuan,
danbagaimanamenjalininteraksi yang paling menguntungkanantara yang satudengan
yang lain.[4]
Untuk
mempermudah maksud dari pembahasan, maka lebih sederhananya jika pendekatan
feminis diartikan sebagai upaya dan usaha kaum feminis untuk mengkaji Islam
dari segi gender. Upaya ini bermula ketika adanya bentuk ketidakadilan atau
lebih tepatnya bentuk ketidakpuasan kaum feminis dalam kajian Islam terhadap
perempuan, seperti contoh masalah hukum waris, cara berpakaian, hak untuk
berkarir, status personal, poligini, hukuman fisik suami pada istri, perceraian
sepihak atau talak dan lain sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat Ghazala
Anwar, salah satu kaum feminis muslimah, ia memandang bahwa faham feminis
adalah sebagai gerakan umum untuk memulihkan martabat, kebebasan, dan
kesetaraan, tidak hanya antar jenis manusia melainkan semua makhluk dimuka bumi
ini.[5]
Dengan
arti lain, maksud dari kata memulihkan martabat, kebebasan, dan kesetaraan ini,
punya pesan tersirat bahwa menurut Ghazala Anwar, mewakili kaum feminis, ada
bentuk ketidakadilan dalam kajian Islam, terutama masalah gender yang mereka perjuangkan
pemulihannya.
Pendekatan
Feminis terhadap studi Islam mempunyai arti bahwa Islam dapat dikaji dari
perspektif perempuan secara umum, serta hanya untuk mencari korelasi yang
sesuai antara agama dan teori feminis itu sendiri, tidak lebih dan tidak
kurang. Tapi kebanyakan yang telah ada, teori feminis hanya bertujuan untuk
menghancurkan batas-batas peran atau kekuasaan dalam pembagian tugas peran
gender itu sendiri, sehingga terkesan ketat, menentang dan keras.
2.3.
Contoh permasalahan Feminis dalam Islam.
Banyak
contoh permasalahan Feminis dalam Islam dan yang pasti juga dapat didekati dari
segi feminis, disini akan diambil contoh masalah wanita karir. Jika kita
melihat hal mendasar dari hak kebebasan mendapatkan pekerjaan, bahwasanya perempuan
juga punya hak yang sama dengan laki-laki, yaitu bekerja atau berkarir sesuai
dengan keinginannya masing-masing. Tapi dalam kenyataan yang ada, agama Islam
seakan membatasi ruang lingkup gerak perempuan untuk berkarir, mulai dari
wajibizin suami, tanggungjawab mengurus anak, memakai hijab dan sebagainya. Hal
ini tentu dianggap sebagai sebuah pengekangan gerak yang tidak leluasa bagi
kaum perempuan sehingga dianggap diskriminatif dan tidak adil.
Dari permasalahan
tersebut,
terlebih dahulukitaperlumemahamikonsep
adil dan tidak adil. Sebenarnya semua masalah yang berhubungan dengan feminis
hanya berakar dari ketidakpahaman kaum feminis terhadap definisi keadilan. Menurut
mereka adil ialah “ pembagian secara rata (sama rata) “, ini jelas keliru,
kenapa bisa keliru? Mari kita analisis ulang.
Jika
memang pengertian adil adalah pembagian secara sama rata, maka seharusnya
antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama rata
serata-ratanya. Maksudnya semua tugas dan peran antara kedua jenis kelamin ini
sama. Masalahnya adalah, jika mereka berdua mempunyai kepentingan dan peran
yang sama, maka akan menjadikan beban keduanya semakin berat dan rancu,
disebabkan tidak adanya saling gotong royong antara peran laki-laki dan
perempuan, secara otomatis berdampak pada sistem masyarakat yang semakin kacau
dan semrawut.
Lebih
tepat dan benar, jika definisi adil diarahkan ke konteks makna yang pas, yaitu
“menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”, dengan menggunakan definisi
tersebut, tidak akan ada sistem peran dan tugas yang terabaikan dan rancu,
sehingga keseimbangan peran dalam sistem masyarakat terjaga baik dan benar.
Dari
penalaran diatas, ada dua elemen yang harus diperhatikan menyangkut masalah
tersebut, yaitu hak dan kewajiban. Menurut saya, bekerja (dalam arti mencari
nafkah) bagi laki-laki adalah sebuah kewajiban, namun bagi perempuan, bekerja
adalah sebuah hak, maka dengan hal ini, tidak bisa dibenarkan, jika untuk
memenuhi sebuah hak, perempuan melalaikan kewajiban utamanya, yaitu sebagaimana
seharusnya kodrat dia menjadi perempuan. Sebenarnya jika kaum feminis memahami
konsep-konsep seperti yang telah dijabarkan diatas, maka sudah pasti tidak akan
ada pertentangan antar gender yang terlalu berarti.
Contoh lain yang bersangkutan dengan feminis. Dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, Allah SWT berfirman :
Artinya
: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan....
Sekilas, jika kita
amati, ayat ini seakan mendiskriminatifkan kaum
perempuan dan mengunggulkan kaum laki-laki diatas kaum perempuan. Namun jika
kita pahami betul konteks bentuk kata yang dipakai dalam ayat tersebut, maka
hal itu tidak akan merubah esensi kebenaran yang sesuai dengan logika manusia.
Mari kita analisis kembali ayat tersebut.
Kata “Ar-Rijaalu”
adalah kata jamak dari mufrod “ Ar-Rojulu”, sedangkan Ar-Rojulu
mempunyai makna sama dengan kata “ Adz-Dzakaru” ( Jamak : Adz-Dzukuuru
) yang artinya orang laki-laki. Pertanyaannya adalah, mengapa Al-Qur’an di dalam
ayat tersebut mengungkapkan makna “orang laki-laki” dengan ungkapan “Ar-Rijaalu” tidak dengan ungkapan “Adz-Dzukuuru”
?
Ternyata ada
maksud tersirat Al-Qur’an menggunakan ungkapan“Ar-Rijaalu” pada ayat
tersebut, yaitu tentang fungsi kata. Sebenarnya fungsi kata “ Adz-Dzakaru” berbeda
dengan fungsi kata “ Ar-Rojulu”,“
Adz-Dzakaru” berfungsi untuk menunjukkan makna orang laki-laki dalam bentuk
fisik atau lahiriyyah, lebih tepatnya “ Adz-Dzakaru” dimaknai dengan makna
“Jantan”. Berbeda dengan ”Ar-Rojulu”,”Ar-Rojulu” berfungsi
menunjukkan makna orang laki-laki dari segi karakter batiniyyah yang tertanam
dalam jiwa raga laki-laki sejati. Hal ini sama halnya dengan ungkapan “
An-Nisaa’” yang tidak diungkapkan dalamAl-Qur’an
dengan kata “ Inatsu” yang sama-sama mempunyai arti perempuan (jamak).
Di samping itu, Al-Qur’an menggunakan ungkapan ma’rifat dalam kata “Ar-Rijaalu”
dan “ An-Nisaa’” di tandai adanya alif lam ta’rif, hal ini
menunjukkan bahwa sifat serta karakter laki-laki dan perempuan sejati, tidaklah
dimiliki pada seluruh manusia, tetapi hanya orang-orang tertentu saja.
Jadi dalam ayat
tersebut mempunyai arti “Siapa saja yang memiliki karakter laki-laki sejati
itu adalah pemimpin bagi orang-orang yang memiliki karakter sejati perempuan..“.
Dengan pengartian tersebut, ada celah bagi perempuan yang memang
memiliki karakter laki-laki sejati,(karakternya :
berani, tenang mengambil keputusan, adil dan lain sebagainya).
untuk menjadi seorang pemimpin.Makaungkapan Al-Qur’an dalammenanggapipermasalahanfeminis
pun terpecahkan.
Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan feminis dalam
Islam, hal ini disebabkan kurang pahamnya kaum feminis terhadap Al-Qur’an
sendiri.Makadari itu, perlu adanya telaah ulang tentang makna dalam Al-Qur’an
untuk menghindari kesalah pahaman makna yang melenceng jauh dari yang dimaksudkan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan.
Pendekatan
studi Islam dari sudut feminis ternyata hanyalah sebagai upaya dan usaha kaum
feminis untuk mengkaji Islam dari segi gender, yang bermula dari bentuk
ketidakpuasan kaum feminis dalam kajian Islam terhadap perempuan, hal ini
terjadi karena adanya salah pengertian terhadap definisi keadilan.
3.2. Kritik dan Saran.
Demikian yang dapat
saya sampaikan mengenai materi yang menjadi pokok pembahasan, sudah pasti
banyak kelemahan dan kekurangan dikarenakan pengetahuan saya yang masih
terbatas serta kurangnya sumber-sumber referensi mengenai bahasan ini.
Saya
berharap, para pembaca dan pendengar mau memberikan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada
kesempatan-kesempatan berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Nasution, Dr. Khoirudin, Ushul Fiqh:
Sebuah Kajian FiqhPerempuan, Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syariah Sunan Kaijaga, 2002).
·
Luce
Irigaray, Donne Divine,dalamSessi e Genealogie, (Milan,1989).
Buttarelli, Annarosa, Dio Personale e
Genere Femminile, dalam suntingan Ceresa, Ivana, Donne e Divino,(Mantua,1992).
·
Morgan,
Sue,PendekatanFeminis, Aneka PendekatanStudi Agama, ed. Connolly, Peter, (Yogyakarta:LKis, 2002).
·
Baidhawy.ed, Zakiyuddin, Wacana
Teologi Feminis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997).
[2]Dr.
Khoirudin Nasution, Ushul Fiqh: Sebuah Kajian FiqhPerempuan, Mazhab Jogja,
Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Fakultas Syariah
Sunan Kaijaga, 2002), hlm 253.
[3]Luce Irigaray, Donne Divine,dalamSessi e
Genealogie, (Milan,1989), hlm.67-86 ;Annarosa Buttarelli, Dio Personale e Genere Femminile, dalam
suntingan Ivana Ceresa, Donne e Divino,(Mantua,1992),
hlm 44-50.
[4]Sue Morgan, PendekatanFeminis, Aneka
PendekatanStudi Agama, ed.Peter Connolly, (Yogyakarta:LKis, 2002),hlm63.
[5]Zakiyuddin
Baidhawy,ed.Wacana Teologi Feminis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997),
hlm 4.
0 comments:
Post a Comment